WTO, merupakan sebuah organisasi perdagangan internasional yang
dibentuk pada tahun 2005 dan hingga kini telah menaungi 153 negara di
dalamnya. Organisasi ini berfungsi sebagai forum bagi kerjasama
internasional dalam hal kebijakan perdagangan antarnegara.
Karenanya dalam pelaksanaan tugasnya ini, WTO berupaya untuk
membangun skema perekonomian yang sehat bagi semua negara anggota dengan
cara membentuk kerangka kebijakan perdagangan yang dapat menfasilitasi
kepentingan setiap negara dalam hal perdagangan internasional. Kerangka
untuk mengatur kebijakan perdagangan ini tertuang dalam prinsip-prinsip
WTO yang menjadi dasar dari sistem perdagangan multilateral.
Terdapat lima prinsip penting dalam WTO, yaitu[1]:
1. Nondiscrimination
Dalam prinsip nondiscrimination ini, terdapat dua komponen, yaitu most-favored nation dan prinsip national treatment. Dan
intinya, di bawah kesepakatan WTO, negara-negara anggota tidak bisa
secara sengaja mendiskriminasi partner dagang mereka. Jika suatu negara
memberlakukan “special favor” seperti menurunkan pajaknya terhadap satu
negara, maka negara tersebut harus memberlakukan hal yang sama terhadap
semua negara anggota WTO
2. Reciprocity
Resiprocity merupakan elemen fundamental dalam proses
negosiasi merupakan aturan timbal balik, bila suatu negara mereduksi
hambatan perdagangannya, maka negara tersebut juga berhak menerima hal
yang sama dari negara lain.
3. Binding & Enforceable Commitment
Prinsip ini berarti bahwa komitmen tarif yang telah dibentuk negara
anggota WTO dalam negosiasi perdagangan multilateral memiliki sifat
“ceiling binding”, mengikat secara hukum , namun juga bersifat terbatas.
4. Transparency
Merupakan pilar dasar di mana WTO berupaya untuk menciptakan
peraturan perdagangan yang jelas dan terbuka. Termasuk di dalamnya
kewajiban anggota WTO untuk mempublikasikan regulasi perdagangannya.
5. Safety Valve
Dalam prinsip ini negara diizinkan untuk membatasi perdagangannya dalam kondisi tertentu.
Dan pertanyaannya, apakah prinsip-prinsip ini telah mencerminkan
keadilan dan kebaikan baik semua anggotanya terutama negara-negara
miskin dan negara berkembang?
Jika dikaji satu persatu, sebenarnya prinsip-prinsip WTO telah
mempertimbangkan kondisi-kondisi yang mungkin terjadi terutama pada
negara miskin dan berkembang, dalam rangka menciptakan perdagangan yang
adil, terbuka dan menghindari persaingan yang tidak sehat antar negara.
Misalnya pada prinsip pertama, nondiscrimination. WTO juga
memberlakukan beberapa pengecualian. Misalnya, negara bisa membentuk
kesepakatan pasar bebas yang hanya berlaku pada barang-barang yang
diperdagangkan di dalam grup. Selain itu, WTO juga bisa memberikan akses
spesial kepada negara berkembang ke dalam pasar negara lain. atau suatu
negara juga bisa memberlakukan “barier” terhadap produk yang dianggap
diperdagangkan secara tidak adil dari negara tertentu. Dan untuk sektor
jasa, dalam kondisi tertentu negara juga diizinkan untuk melakukan
diskriminasi. Walaupun kesepakatan WTO hanya memperbolehkan pengecualian
ini dalam kondisi-kondisi tertentu yang sangat strict.
Dan berkaitan dengan national treatment, prinsip ini hanya berlaku
jika barang, jasa atau item properti intelektual itu telah memasuki
pasar. Selain itu, pembebanan pajak atas produk impor juga bukan bentuk
pelanggaran dari prinsip national treatment bahkan bila produk lokal
tidak dibebankan pajak. Jadi, negara berkembang tetap bisa melindungi
produk dalam negerinya dengan pemberlakuan pajak impor.
Selain itu, prinsip tentang pasar bebas yang dianjurkan oleh WTO juga
dilakukan secara bertahan dan juga melalui negosiasi. Jadi tidak serta
merta langsung harus diterapkan negara segera setelah negara itu
bergabung dengan WTO. Dalam kesepakatannya, WTO membolehkan negara
memperkenalkan perubahan perdagangan tersebut secara bertahap melalui
“progressive liberalization”. Di mana dalam hal ini negara berkembang
biasanya diberikan waktu yang lebih lama untuk memenuhi kewajibannya
ini. Namun, negara maju dituntut harus segera memberlakukannya.
Dalam kondisi tertentu, sistem WTO juga memungkinkan tarif, begitupun
kebijakan proteksi, WTO juga memberikan izin dalam kondisi tertentu.
Hal ini dilakukan WTO untuk membentuk sistem aturan yang terbuka, adil,
dan kompetisi yang tidak sehat. Kompetisi terjadi antar negara yang
telah siap untuk berkompetisi. Terkait dengan prinsip binding, negara
juga diperbolehkan mengubah binding nya, namun hanya setelah
bernegosiasi dengan partner dagangnya. Hal ini berarti WTO memungkinkan
upaya kompensasi untuk menghindari kerugian pada saat melakukan
perdagangan.
Namun, walaupun prinsip WTO ini sudah dibuat dengan penuh
pertimbangan dengan melihat kondisi-kondisi negara yang tidak sama,
prinsip WTO ini masih memiliki kelemahan yang membuatnya menjadi tidak
adil. Misalnya, dalam prinsip most-favoured nation. Dalam
prinsip ini, dimungkinkan untuk mengurangi biaya negosiasi, karena
negosiasi cukup dilakukan dengan beberapa negara saja. Dan keputusan
akan berlaku pada semua negara. Walaupun secara ekonomi, biaya untuk
melakukan pertemuan bisa dikurangi. Namun hal yang paling esensi dalam
proses pengambilan keputusan adalah melibatkan semua pihak-pihak yang
tergabung di dalamnya. Sehingga walaupun pada akhirnya keputusannya
tetap sama, setidaknya negara berkembang / negara miskin memiliki
kesempatan untuk menyampaikan aspirasi atau setidaknya mendapatkan
pengecualian atas kebijakan tertentu.
Selain itu, walaupun prinsip-prinsip WTO ini secara tertulis telah
mencerminkan kebaikan dan keadilan bagi negara anggotanya. Kenyataan dan
realita di lapangan bisa saja berkata lain. Hingga hari ini,
negara-negara maju seperti negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa
sendiri yang melanggar prinsip-prinsip WTO. Kebanyakan negara Eropa
“Keynes at home, Smith abroad”. Uni Eropa melindungi produksi dalam
negerinya namun untuk penjualan produknya ke luar negeri mengharapkan
pasar bebas seluas-luasnya. Hal inilah yang sangat membebani negara
berkembang, di mana mereka dituntut untuk membuka pasar domestiknya
untuk produk asing , namun distribusi produk mereka ke luar negeri
dibatasi oleh negara maju. Sebuah ironi memang, bahwa ketika negara
berkembang dan negara miskin selalu menjadi pihak yang dituntut harus
mengikuti semua aturan yang mereka dibuat dengan negara maju, Negara
maju malah menjadi pihak yang melanggarnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar