kisah u menjaga kecintaanku pada istriku

♥ Kisah Cinta yang Mengharukan*

Cerita ini adalah kisah nyata… dimana perjalanan hidup ini ditulis oleh seorang istri

dalam sebuah laptopnya.

Bacalah…. semoga kisah nyata ini menjadi menyadarkan kita akan pelajaran hidup bagi

kita semua.

***

Cinta itu butuh kesabaran… Sampai dimanakah kita harus bersabar menanti cinta kita???

Hari itu.. aku dengannya berkomitmen untuk menjaga cinta kita..
Aku menjadi perempuan yg paling bahagia…..
Pernikahan kami sederhana namun meriah…..
Ia menjadi pria yang sangat romantis pada waktu itu.
Aku bersyukur menikah dengan seorang pria yang shaleh, pintar, tampan & mapan pula.
Ketika kami berpacaran dia sudah sukses dalam karirnya.
Kami akan berbulan madu di tanah suci, itu janjinya ketika kami berpacaran dulu..
Dan setelah menikah, aku mengajaknya untuk umroh ke tanah suci….
Aku sangat bahagia dengannya, dan dianya juga sangat memanjakan aku… sangat terlihat

dari rasa cinta dan rasa sayangnya pada ku.
Banyak orang yang bilang kami adalah pasangan yang serasi.
Sangat terlihat sekali bagaimana suamiku memanjakanku. Dan aku bahagia menikah

dengannya.


***

Lima tahun berlalu sudah kami menjadi suami istri, sangat tak terasa waktu begitu

cepat berjalan walaupun kami hanya hidup berdua saja karena sampai saat ini aku belum

bisa memberikannya seorang malaikat kecil (/bayi/) di tengah keharmonisan rumah tangga

kami.

Karena dia anak lelaki satu-satunya dalam keluarganya, jadi aku harus berusaha untuk

mendapatkan penerus generasi baginya. Alhamdulillah saat itu suamiku mendukungku… Ia

mengaggap Allah belum mempercayai kami untuk menjaga titipan-NYA. Tapi keluarganya

mulai resah. Dari awal kami menikah, ibu & adiknya tidak menyukaiku. Aku sering

mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari mereka, namun aku selalu berusaha

menutupi hal itu dari suamiku…

Didepan suami ku mereka berlaku sangat baik padaku, tapi dibelakang suami ku, aku

dihina-hina oleh mereka…

Pernah suatu ketika satu tahun usia pernikahan kami, suamiku mengalami kecelakaan,

mobilnya hancur. Alhamdulillah suami ku selamat dari maut yang hampir membuat ku

menjadi seorang janda itu.
Ia dirawat dirumah sakit pada saat dia belum sadarkan diri setelah kecelakaan. Aku

selalu menemaninya siang & malam sambil kubacakan ayat-ayat suci Al – Qur’an. Aku

sibuk bolak-balik dari rumah sakit dan dari tempat aku melakukan aktivitas sosial ku,

aku sibuk mengurus suamiku yang sakit karena kecelakaan.
Namun saat ketika aku kembali ke rumah sakit setelah dari rumah kami, aku melihat di

dalam kamarnya ada ibu, adik-adiknya dan teman-teman suamiku, dan disaat itu juga..

aku melihat ada seorang wanita yang sangat akrab mengobrol dengan ibu mertuaku. Mereka

tertawa menghibur suamiku. Alhamdulillah suamiku ternyata sudah sadar, aku menangis

ketika melihat suami ku sudah sadar, tapi aku tak boleh sedih di hadapannya.

Kubuka pintu yang tertutup rapat itu sambil mengatakan, “Assalammu’alaikum” dan mereka

menjawab salam ku. Aku berdiam sejenak di depan pintu dan mereka semua melihatku.

Suamiku menatapku penuh manja, mungkin ia kangen padaku karena sudah 5 hari mata nya

selalu tertutup. Tangannya melambai, mengisyaratkan aku untuk memegang
tangannya erat. Setelah aku menghampirinya, kucium tangannya sambil berkata

“Assalammu’alaikum”, ia pun menjawab salam ku dengan suaranya yg lirih namun penuh

dengan cinta. Aku pun senyum melihat wajahnya. Lalu.. Ibu nya berbicara denganku …

“Fis, kenalkan ini Desi teman Fikri”.

Aku teringat cerita dari suamiku bahwa teman baiknya pernah mencintainya, perempuan

itu bernama Desi dan dia sangat akrab dengan keluarga suamiku. Hingga akhirnya aku

bertemu dengan orangnya juga. Aku pun langsung berjabat tangan dengannya, tak banyak

aku bicara di dalam ruangan tersebut,aku tak mengerti apa yg mereka bicarakan.

Aku sibuk membersihkan & mengobati luka-luka di kepala suamiku, baru sebentar aku

membersihkan mukanya, tiba-tiba adik ipar ku yang bernama Dian mengajakku keluar, ia

minta ditemani ke kantin. Dan suamiku pun mengijinkannya. Kemudian aku pun

menemaninya. Tapi ketika di luar adik ipar ku berkata, ”lebih baik kau pulang saja,

ada kami yg menjaga abang disini. Kau istirahat saja.”
Anehnya, aku tak diperbolehkan berpamitan dengan suamiku dengan alasan abang harus

banyak beristirahat dan karena psikologisnya masih labil.

Aku berdebat dengannya mempertanyakan mengapa aku tidak diizinkan berpamitan dengan

suamiku. Tapi tiba-tiba ibu mertuaku datang menghampiriku dan ia juga mengatakan hal

yang sama. Nantinya dia akan memberi alasan pada suamiku mengapa aku pulang tak

berpamitan padanya, toh suamiku selalu menurut apa kata ibunya, baik ibunya salah

ataupun tidak, suamiku tetap saja membenarkannya. Akhirnya aku pun pergi meninggalkan

rumah sakit itu dengan linangan air mata. Sejak saat itu aku tidak pernah diijinkan

menjenguk suamiku sampai ia kembali dari rumah sakit. Dan aku hanya bisa menangis

dalam kesendirianku. Menangis mengapa mereka sangat membenciku.

***

Hari itu.. aku menangis tanpa sebab, yang ada di benakku aku takut kehilangannya, aku

takut cintanya dibagi dengan yang lain.
Pagi itu, pada saat aku membersihkan pekarangan rumah kami, suamiku memanggil ku ke

taman belakang, ia baru aja selesai sarapan, ia mengajakku duduk di ayunan favorit

kami sambil melihat ikan-ikan yang bertaburan di kolam air mancur itu.

Aku bertanya, ”Ada apa kamu memanggilku?”
Ia berkata, ”Besok aku akan menjenguk keluargaku di Sabang”
Aku menjawab, ”Ia sayang.. aku tahu, aku sudah mengemasi barang-barang kamu di travel

bag dan kamu sudah memeegang tiket bukan?”
“Ya tapi aku tak akan lama disana, cuma 3 minggu aku disana, aku juga sudah lama tidak

bertemu dengan keluarga besarku sejak kita menikah dan aku akan pulang dengan mama

ku”, jawabnya tegas. “Mengapa baru sekarang bicara, aku pikir hanya seminggu saja kamu

disana?“, tanya ku balik kepadanya penuh dengan rasa penasaran dan sedikit rasa kecewa

karena ia baru memberitahukan rencana kepulanggannya itu, padahal aku telah bersusah

payah mencarikan tiket pesawat untuknya.
”Mama minta aku yang menemaninya saat pulang nanti”, jawabnya tegas.
”Sekarang aku ingin seharian dengan kamu karena nanti kita 3 minggu tidak bertemu, ya

kan?”, lanjut nya lagi sambil memelukku dan mencium keningku. Hatiku sedih dengan

keputusannya, tapi tak boleh aku tunjukkan pada nya.

Bahagianya aku dimanja dengan suami yang penuh dengan rasa sayang & cintanya walau

terkadang ia bersikap kurang adil terhadapku.
Aku hanya bisa tersenyum saja, padahal aku ingin bersama suamiku, tapi karena

keluarganya tidak menyukaiku hanya karena mereka cemburu padaku karena suamiku sangat

sayang padaku. Kemudian aku memutuskan agar ia saja yg pergi dan kami juga harus

berhemat dalam pengeluaran anggaran rumah tangga kami.
Karena ini acara sakral bagi keluarganya, jadi seluruh keluarganya harus komplit.

Walaupun begitu, aku pun tetap tak akan diperdulikan oleh keluarganya harus datang

ataupun tidak. Tidak hadir justru membuat mereka sangat senang dan aku pun tak mau

membuat riuh keluarga ini.

Malam sebelum kepergiannya, aku menangis sambil membereskan keperluan yang akan

dibawanya ke Sabang, ia menatapku dan menghapus airmata yang jatuh dipipiku, lalu aku

peluk erat dirinya. Hati ini bergumam tak merelakan dia pergi seakan terjadi sesuatu,

tapi aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Aku hanya bisa menangis karena akan

ditinggal pergi olehnya. Aku tidak pernah ditinggal pergi selama ini, karena kami

selalu bersama-sama kemana pun ia pergi.
Apa mungkin aku sedih karena aku sendirian dan tidak memiliki teman, karena biasanya

hanya pembantu sajalah teman mengobrolku. Hati ini sedih akan di tinggal pergi

olehnya.
Sampai keesokan harinya, aku terus menangis.. menangisi kepergiannya.

Aku tak tahu mengapa sesedih ini, perasaanku tak enak, tapi aku tak boleh berburuk

sangka. Aku harus percaya apada suamiku. Dia pasti akan selalu menelponku.

***

Berjauhan dengan suamiku, aku merasa sangat tidak nyaman, aku merasa sendiri.

Untunglah aku mempunyai kesibukan sebagai seorang aktivis, jadinya aku tak terlalu

kesepian ditinggal pergi ke Sabang.
Saat kami berhubungan jarak jauh, komunikasi kami memburuk dan aku pun jatuh sakit.

Rahimku terasa sakit sekali seperti di lilit oleh tali. Tak tahan aku menahan rasa

sakit dirahimku ini, sampai-sampai aku mengalami pendarahan. Aku dilarikan ke rumah

sakit oleh adik laki-lakiku yang kebetulan menemaniku disana. Dokter memvonis aku

terkena kanker mulut rahim stadium 3. Aku menangis.. apa yang bisa aku banggakan

lagi..

Mertuaku akan semakin menghinaku, suamiku yang malang yang selalu berharap akan punya

keturunan dari rahimku.. namun aku tak bisa memberikannya keturunan. Dan kemudian aku

hanya bisa memeluk adikku.
Aku kangen pada suamiku, aku selalu menunggu ia pulang dan bertanya-tanya, “kapankah

ia segera pulang?” aku tak tahu..
Sementara suamiku disana, aku tidak tahu mengapa ia selalu marah-marah jika

menelponku. Bagaimana aku akan menceritakan kondisiku jika ia selalu marah-marah

terhadapku.. Lebih baik aku tutupi dulu tetang hal ini dan aku juga tak mau membuatnya

khawatir selama ia berada di Sabang.
Lebih baik nanti saja ketika ia sudah pulang dari Sabang, aku akan cerita padanya.

Setiap hari aku menanti suamiku pulang, hari demi hari aku hitung…

Sudah 3 minggu suamiku di Sabang, malam itu ketika aku sedang melihat foto-foto kami,

ponselku berbunyi menandakan ada sms yang masuk. Kubuka di inbox ponselku, ternyata

dari suamiku yang sms. Ia menulis, “Aku sudah beli tiket untuk pulang, aku pulangnya

satu hari lagi, aku akan kabarin lagi”.
Hanya itu saja yang diinfokannya. Aku ingin marah, tapi aku pendam saja ego yang tidak

baik ini. Hari yg aku tunggu pun tiba, aku menantinya di rumah.

Sebagai seorang istri, aku pun berdandan yang cantik dan memakai parfum kesukaannya

untuk menyambut suamiku pulang, dan nantinya aku juga akan menyelesaikan masalah

komunikasi kami yg buruk akhir-akhir ini.

Bel pun berbunyi, kubukakan pintu untuknya dan ia pun mengucap salam.
Sebelum masuk, aku pegang tangannya kedepan teras namun ia tetap berdiri, aku

membungkuk untuk melepaskan sepatu, kaos kaki dan kucuci kedua kakinya, aku tak mau

ada syaithan yang masuk ke dalam rumah kami.
Setelah itu akupun berdiri langsung mencium tangannya tapi apa reaksinya..
Masya Allah.. ia tidak mencium keningku, ia hanya diam dan langsung naik keruangan

atas, kemudian mandi dan tidur tanpa bertanya kabarku..
Aku hanya berpikir, mungkin dia capek. Aku pun segera merapikan bawaan nya sampai aku

pun tertidur. Malam menunjukkan 1/3 malam, mengingatkan aku pada tempat mengadu yaitu

Allah, Sang Maha Pencipta.
Biasa nya kami selalu berjama’ah, tapi karena melihat nya tidur sangat pulas, aku tak

tega membangunkannya. Aku hanya mengeelus wajahnya dan aku cium keningnya, lalu aku

sholat tahajud 8 rakaat plus witir 3 raka’at.

***

Aku mendengar suara mobilnya, aku terbangun lalu aku melihat dirinya dari balkon kamar

kami yang bersiap-siap untuk pergi. Lalu aku memanggilnya tapi ia tak mendengar.

Kemudian aku ambil jilbabku dan aku lari dari atas ke bawah tanpa memperdulikan darah

yg bercecer dari rahimku untuk mengejarnya tapi ia begitu cepat pergi.
Aku merasa ada yang aneh dengan suamiku. Ada apa dengan suamiku? Mengapa ia bersikap

tidak biasa terhadapku?
Aku tidak bisa diam begitu saja, firasatku mengatakan ada sesuatu. Saat itu juga aku

langsung menelpon kerumah mertuakudan kebetulan Dian yang mengangkat telponnya, aku

bercerita dan aku bertanya apa yang sedang terjadi dengan suamiku. Dengan enteng ia

menjawab, “Loe pikir aja sendiri!!!”. Telpon pun langsung terputus.
Ada apa ini? Tanya hatiku penuh dalam kecemasan. Mengapa suamiku berubah setelah ia

kembali dari kota kelahirannya. Mengapa ia tak mau berbicara padaku, apalagi

memanjakan aku.

Semakin hari ia menjadi orang yang pendiam, seakan ia telah melepas tanggung jawabnya

sebagai seorang suami. Kami hanya berbicara seperlunya saja, aku selalu

diintrogasinya. Selalu bertanya aku dari mana dan mengapa pulang terlambat dan ia

bertanya dengan nada yg keras. Suamiku telah berubah.
Bahkan yang membuat ku kaget, aku pernah dituduhnya berzina dengan mantan pacarku.

Ingin rasanya aku menampar suamiku yang telah menuduhku serendah itu, tapi aku selalu

ingat.. sebagaimana pun salahnya seorang suami, status suami tetap di atas para istri,

itu pedoman yang aku pegang. Aku hanya berdo’a semoga suamiku sadar akan prilakunya.

***

Dua tahun berlalu, suamiku tak kunjung berubah juga. Aku menangis setiap malam, lelah

menanti seperti ini, kami seperti orang asing yang baru saja berkenalan.
Kemesraan yang kami ciptakan dulu telah sirna. Walaupun kondisinya tetap seperti itu,

aku tetap merawatnya & menyiakan segala yang ia perlukan.

Penyakitkupun masih aku simpan dengan baik dan sekalipun ia tak pernah bertanya

perihal obat apa yang aku minum. Kebahagiaan ku telah sirna, harapan menjadi ibu pun

telah aku pendam. Aku tak tahu kapan ini semua akan berakhir.
Bersyukurlah.. aku punya penghasilan sendiri dari aktifitasku sebagai seorang guru

ngaji, jadi aku tak perlu meminta uang padanya hanya untuk pengobatan kankerku. Aku

pun hanya berobat semampuku.

Sungguh.. suami yang dulu aku puja dan aku banggakan, sekarang telah menjadi orang

asing bagiku, setiap aku bertanya ia selalu menyuruhku untuk berpikir sendiri. Tiba-

tiba saja malam itu setelah makan malam usai, suamiku memanggilku.

“Ya, ada apa Yah!” sahutku dengan memanggil nama kesayangannya “Ayah”.
“Lusa kita siap-siap ke Sabang ya.” Jawabnya tegas. “Ada apa?
Mengapa?”, sahutku penuh dengan keheranan.
Astaghfirullah.. suami ku yang dulu lembut tiba-tiba saja menjadi kasar, dia

membentakku. Sehingga tak ada lagi kelanjutan diskusi antara kami.
Dia mengatakan ”Kau ikut saja jangan banyak tanya!!”
Lalu aku pun bersegera mengemasi barang-barang yang akan dibawa ke Sabang sambil

menangis, sedih karena suamiku kini tak ku kenal lagi.

Dua tahun pacaran, lima tahun kami menikah dan sudah 2 tahun pula ia menjadi orang

asing buatku. Ku lihat kamar kami yg dulu hangat penuh cinta yang dihiasi foto

pernikahan kami, sekarang menjadi dingin.. sangat dingin dari batu es. Aku menangis

dengan kebingungan ini. Ingin rasanya aku berontak berteriak, tapi aku tak bisa.
Suamiku tak suka dengan wanita yang kasar, ngomong dengan nada tinggi, suka membanting

barang-barang. Dia bilang perbuatan itu menunjukkan sikap ketidakhormatan kepadanya.

Aku hanya bisa bersabar menantinya bicara dan sabar mengobati penyakitku ini, dalam

kesendirianku..

***

Kami telah sampai di Sabang, aku masih merasa lelah karena semalaman aku tidak tidur

karena terus berpikir. Keluarga besarnya juga telah berkumpul disana, termasuk ibu &

adik-adiknya. Aku tidak tahu ada acara apa ini..
Aku dan suamiku pun masuk ke kamar kami. Suamiku tak betah didalam kamar tua itu, ia

pun langsung keluar bergabung dengan keluarga besarnya.
Baru saja aku membongkar koper kami dan ingin memasukkannya ke dalam lemari tua yg

berada di dekat pintu kamar, lemari tua yang telah ada sebelum suamiku lahir tiba-tiba

Tante Lia, tante yang sangat baik padaku memanggil ku untuk bersegera berkumpul

diruang tengah, aku pun menuju ke ruang keluarga yang berada ditengah rumah besar itu,

yang tampak seperti rumah zaman peninggalan belanda.

Kemudian aku duduk disamping suamiku, dan suamiku menunduk penuh dengan kebisuan, aku

tak berani bertanya padanya. Tiba-tiba saja neneknya, orang yang dianggap paling tua

dan paling berhak atas semuanya, membuka pembicaraan.

“Baiklah, karena kalian telah berkumpul, nenek ingin bicara dengan kau Fisha”.

Neneknya berbicara sangat tegas, dengan sorot mata yang tajam.

”Ada apa ya Nek?” sahutku dengan penuh tanya..
Nenek pun menjawab, “Kau telah bergabung dengan keluarga kami hampir 8 tahun, sampai

saat ini kami tak melihat tanda-tanda kehamilan yang sempurna sebab selama ini kau

selalu keguguran!!“.

Aku menangis.. untuk inikah aku diundang kemari? Untuk dihina ataukah dipisahkan

dengan suamiku?

“Sebenarnya kami sudah punya calon untuk Fikri, dari dulu.. sebelum kau menikah

dengannya. Tapi Fikri anak yang keras kepala, tak mau di atur,dan akhirnya menikahlah

ia dengan kau.” Neneknya berbicara sangat lantang, mungkin logat orang Sabang seperti

itu semua. Aku hanya bisa tersenyum dan melihat wajah suamiku yang kosong matanya.
“Dan aku dengar dari ibu mertuamu kau pun sudah berkenalan dngannya/”, neneknya masih

melanjutkan pembicaraan itu.
Sedangkan suamiku hanya terdiam saja, tapi aku lihat air matanya. Ingin aku peluk

suamiku agar ia kuat dengan semua ini, tapi aku tak punya keberanian itu.
Neneknya masih saja berbicara panjang lebar dan yang terakhir dari ucapannya dengan

mimik wajah yang sangat menantang kemudian berkata,
“kau maunya gimana? kau dimadu atau diceraikan?“
MasyaAllah.. kuatkan hati ini.. aku ingin jatuh pingsan. Hati ini seakan remuk

mendengarnya, hancur hatiku. Mengapa keluarganya bersikap seperti ini terhadapku..
Aku selalu munutupi masalah ini dari kedua orang tuaku yang tinggal di pulau kayu,

mereka mengira aku sangat bahagia 2 tahun belakangan ini.

“Fish, jawab!.” Dengan tegas Ibunya langsung memintaku untuk menjawab.
Aku langsung memegang tangan suamiku. Dengan tangan yang dingin dan gemetar aku

menjawab dengan tegas. ”Walaupun aku tidak bisa berdiskusi dulu dengan imamku, tapi

aku dapat berdiskusi dengannya melalui bathiniah, untuk kebaikan dan masa depan

keluarga ini, aku akan menyambut baik seorang wanita baru dirumah kami.”
Itu yang aku jawab, dengan kata lain aku rela cintaku dibagi. Dan pada saat itu juga

suamiku memandangku dengan tetesan air mata, tapi air mataku tak sedikit pun menetes

di hadapan mereka. Aku lalu bertanya kepada suamiku, “Ayah siapakah yang akan menjadi

sahabatku dirumah kita nanti, yah?” Suamiku menjawab, ”Dia Desi!”
Aku pun langsung menarik napas dan langsung berbicara, ”Kapan pernikahannya

berlangsung? Apa yang harus saya siapkan dalam pernikahan ini Nek?.”
Ayah mertuaku menjawab, “Pernikahannya 2 minggu lagi.”
”Baiklah kalau begitu saya akan menelpon pembantu di rumah, untuk menyuruhnya mengurus

KK kami ke kelurahan besok”, setelah berbicara seperti itu aku permisi untuk pamit ke

kamar.

Tak tahan lagi.. air mata ini akan turun, aku berjalan sangat cepat, aku buka pintu

kamar dan aku langsung duduk di tempat tidur. Ingin berteriak, tapi aku sendiri

disini. Tak kuat rasanya menerima hal ini, cintaku telah dibagi. Sakit. Diiringi

akutnya penyakitku..

Apakah karena ini suamiku menjadi orang yang asing selama 2 tahun belakangan ini?
Aku berjalan menuju ke meja rias, kubuka jilbabku, aku bercermin sambil bertanya-

tanya, “sudah tidak cantikkah aku ini?“ Ku ambil sisirku, aku menyisiri rambutku yang

setiap hari rontok. Kulihat wajahku, ternyata aku memang sudah tidak cantik lagi,

rambutku sudah hampir habis.. kepalaku sudah botak dibagian tengahnya.
Tiba-tiba pintu kamar ini terbuka, ternyata suamiku yang datang, ia berdiri

dibelakangku. Tak kuhapus air mata ini, aku bersegera memandangnya dari cermin meja

rias itu. Kami diam sejenak, lalu aku mulai pembicaraan, “terima kasih ayah, kamu

memberi sahabat kepada ku.
Jadi aku tak perlu sedih lagi saat ditinggal pergi kamu nanti! Iya kan?.”
Suamiku mengangguk sambil melihat kepalaku tapi tak sedikitpun ia tersenyum dan

bertanya kenapa rambutku rontok, dia hanya mengatakan jangan salah memakai shampo.
Dalam hatiku bertanya, “mengapa ia sangat cuek?” dan ia sudah tak memanjakanku lagi.

Lalu dia berkata, “sudah malam, kita istirahat yuk!“
“Aku sholat isya dulu baru aku tidur”, jawabku tenang.
Dalam sholat dan dalam tidur aku menangis. Ku hitung mundur waktu, kapan aku akan

berbagi suami dengannya. Aku pun ikut sibuk mengurusi pernikahan suamiku.
Aku tak tahu kalau Desi orang Sabang juga. Sudahlah, ini mungkin takdirku. Aku ingin

suamiku kembali seperti dulu, yang sangat memanjakan aku atas rasa sayang dan cintanya

itu.

***

Malam sebelum hari pernikahan suamiku, aku menulis curahan hatiku di laptopku. Di

laptop aku menulis saat-saat terakhirku melihat suamiku, aku marah pada suamiku yang

telah menelantarkanku. Aku menangis melihat suamiku yang sedang tidur pulas, apa

salahku? sampai ia berlaku sekejam itu kepadaku. Aku save di mydocument yang bertitle

“Aku Mencintaimu Suamiku.”

Hari pernikahan telah tiba, aku telah siap, tapi aku tak sanggup untuk keluar. Aku

berdiri didekat jendela, aku melihat matahari, karena mungkin saja aku takkan bisa

melihat sinarnya lagi. Aku berdiri sangat lama.. lalu suamiku yang telah siap dengan

pakaian pengantinnya masuk dan berbicara padaku. “Apakah kamu sudah siap?” Kuhapus

airmata yang menetes diwajahku sambil berkata :
“Nanti jika ia telah sah jadi istrimu, ketika kamu membawa ia masuk kedalam rumah ini,

cucilah kakinya sebagaimana kamu mencuci kakiku dulu, lalu ketika kalian masuk ke

dalam kamar pengantin bacakan do’a di ubun-ubunnya sebagaimana yang kamu lakukan

padaku dulu. Lalu setelah itu..”, perkataanku terhenti karena tak sanggup aku

meneruskan pembicaraan itu, aku ingin menagis meledak. Tiba-tiba suamiku menjawab
“Lalu apa Bunda?”

Aku kaget mendengar kata itu, yang tadinya aku menunduk seketika aku langsung

menatapnya dengan mata yang berbinar-binar…
“Bisa kamu ulangi apa yang kamu ucapkan barusan?”, pintaku tuk menyakini bahwa kuping

ini tidak salah mendengar.
Dia mengangguk dan berkata, ”Baik bunda akan ayah ulangi, lalu apa bunda?”, sambil ia

mengelus wajah dan menghapus airmataku, dia agak sedikit membungkuk karena dia sangat

tinggi, aku hanya sedadanya saja.
Dia tersenyum sambil berkata, ”Kita lihat saja nanti ya!”. Dia memelukku dan berkata,

“bunda adalah wanita yang paling kuat yang ayah temui selain mama”.
Kemudian ia mencium keningku, aku langsung memeluknya erat dan berkata, “Ayah, apakah

ini akan segera berakhir? Ayah kemana saja? Mengapa Ayah berubah? Aku kangen sama

Ayah? Aku kangen belaian kasih sayang Ayah? Aku kangen dengan manjanya Ayah? Aku

kesepian Ayah? Dan satu hal lagi yang harus Ayah tau, bahwa aku tidak pernah berzinah!

Dulu.. waktu awal kita pacaran, aku memang belum bisa melupakannya, setelah 4 bulan

bersama Ayah baru bisa aku terima, jika yang dihadapanku itu adalah lelaki yang
aku cari. Bukan berarti aku pernah berzina Ayah.” Aku langsung bersujud di kakinya dan

muncium kaki imamku sambil berkata, ”Aku minta maaf Ayah, telah membuatmu susah”. Saat

itu juga, diangkatnya badanku.. ia hanya menangis.
Ia memelukku sangat lama, 2 tahun aku menanti dirinya kembali. Tiba-tiba perutku

sakit, ia menyadari bahwa ada yang tidak beres denganku dan ia bertanya, ”bunda baik-

baik saja kan?” tanyanya dengan penuh khawatir.
Aku pun menjawab, “bisa memeluk dan melihat kamu kembali seperti dulu itu sudah

mebuatku baik, Yah. Aku hanya tak bisa bicara sekarang“.
Karena dia akan menikah. Aku tak mau membuat dia khawatir. Dia harus khusyu menjalani

acara prosesi akad nikah tersebut.

***

Setelah tiba dimasjid, ijab-qabul pun dimulai. Aku duduk diseberang suamiku.
Aku melihat suamiku duduk berdampingan dengan perempuan itu, membuat hati ini cemburu,

ingin berteriak mengatakan, “Ayah jangan!!”, tapi aku ingat akan kondisiku.
Jantung ini berdebar kencang saat mendengar ijab-qabul tersebut. Begitu ijab-qabul

selesai, aku menarik napas panjang. Tante Lia, tante yang baik itu, memelukku. Dalam

hati aku berusaha untuk menguatkan hati ini.

Ya… aku kuat.

Tak sanggup aku melihat mereka duduk bersanding dipelaminan. Orang-orang yang hadir di

acara resepsi itu iba melihatku, mereka melihatku dengan tatapan sangat aneh, mungkin

melihat wajahku yang selalu tersenyum, tapi dibalik itu.. hatiku menangis.
Sampai dirumah, suamiku langsung masuk ke dalam rumah begitu saja. Tak mencuci

kakinya. Aku sangat heran dengan perilakunya. Apa iya, dia tidak suka dengan

pernikahan ini?
Sementara itu Desi disambut hangat di dalam keluarga suamiku, tak seperti aku dahulu,

yang di musuhi.

Malam ini aku tak bisa tidur, bagaimana bisa? Suamiku akan tidur dengan perempuan yang

sangat aku cemburui. Aku tak tahu apa yang sedang mereka lakukan didalam sana.

Sepertiga malam pada saat aku ingin sholat lail aku keluar untuk berwudhu, lalu aku

melihat ada lelaki yang mirip suamiku tidur disofa ruang tengah. Kudekati lalu

kulihat. Masya Allah.. suamiku tak tidur dengan wanita itu, ia ternyata tidur disofa,

aku duduk disofa itu sambil menghelus wajahnya yang lelah, tiba-tiba ia memegang

tangan kiriku, tentu saja aku kaget.
“Kamu datang ke sini, aku pun tahu”, ia berkata seperti itu. Aku tersenyum dan

megajaknya sholat lail. Setelah sholat lail ia berkata, “maafkan aku, aku tak boleh

menyakitimu, kamu menderita karena ego nya aku. Besok kita pulang ke Jakarta, biar

Desi pulang dengan mama, papa dan juga adik-adikku”
Aku menatapnya dengan penuh keheranan. Tapi ia langsung mengajakku untuk istirahat.

Saat tidur ia memelukku sangat erat. Aku tersenyum saja, sudah lama ini tidak terjadi.

Ya Allah.. apakah Engkau akan menyuruh malaikat maut untuk mengambil nyawaku sekarang

ini, karena aku telah merasakan kehadirannya saat ini. Tapi.. masih bisakah engkau

ijinkan aku untuk merasakan kehangatan dari suamiku yang telah hilang selama 2 tahun
ini..
Suamiku berbisik, “Bunda kok kurus?” Aku menangis dalam kebisuan. Pelukannya masih

bisa aku rasakan. Aku pun berkata, “Ayah kenapa tidak tidur dengan Desi?”
”Aku kangen sama kamu Bunda, aku tak mau menyakitimu lagi. Kamu sudah sering terluka

oleh sikapku yang egois.” Dengan lembut suamiku menjawab seperti itu. Lalu suamiku

berkata, ”Bun, ayah minta maaf telah menelantarkan bunda.. Selama ayah di Sabang, ayah

dengar kalau bunda tidak tulus mencintai ayah, bunda seperti mengejar sesuatu, seperti

mengejar harta ayah dan satu lagi.. ayah pernah melihat sms bunda dengan
mantan pacar bunda dimana isinya kalau bunda gak mau berbuat “seperti itu” dan tulisan

seperti itu diberi tanda kutip (“seperti itu”). Ayah ingin ngomong tapi takut bunda

tersinggung dan ayah berpikir kalau bunda pernah tidur dengannya sebelum bunda bertemu

ayah, terus ayah dimarahi oleh keluarga ayah karena ayah terlalu memanjakan bunda”

Hati ini sakit ketika difitnah oleh suamiku, ketika tidak ada kepercayaan di dirinya,

hanya karena omongan keluarganya yang tidak pernah melihat betapa tulusnya aku

mencintai pasangan seumur hidupku ini. Aku hanya menjawab, “Aku sudah ceritakan itu

kan Yah. Aku tidak pernah berzinah dan aku mencintaimu setulus hatiku, jika aku hanya
mengejar hartamu, mengapa aku memilih kamu? Padahal banyak lelaki yang lebih mapan

darimu waktu itu Yah. Jika aku hanya mengejar hartamu, aku tak mungkin setiap hari

menangis karena menderita mencintaimu.“
Entah aku harus bahagia atau aku harus sedih karena sahabatku sendirian dikamar

pengantin itu. Malam itu, aku menyelesaikan masalahku dengan suamiku dan berusaha

memaafkannya beserta sikap keluarganya juga. Karena aku tak mau mati dalam hati yang

penuh dengan rasa benci.

***

Keesokan harinya…

Ketika aku ingin terbangun untuk mengambil wudhu, kepalaku pusing rahimku sakit

sekali.. aku mengalami pendarahan dan suamiku kaget bukan main, ia langsung

menggendongku. Aku pun dilarikan ke rumah sakit.. Dari kejauhan aku mendengar suara

zikir suamiku.. Aku merasakan tanganku basah..
Ketika kubuka mata ini, kulihat wajah suamiku penuh dengan rasa kekhawatiran. Ia

menggenggam tanganku dengan erat.. Dan mengatakan, ”Bunda, Ayah minta maaf…”
Berkali-kali ia mengucapkan hal itu. Dalam hatiku, apa ia tahu apa yang terjadi

padaku? Aku berkata dengan suara yang lirih, ”Yah, bunda ingin pulang.. bunda ingin

bertemu kedua orang tua bunda, anterin bunda kesana ya, Yah..” “Ayah jangan berubah

lagi ya! Janji ya, Yah… !!! Bunda sayang banget sama Ayah.”

Tiba-tiba saja kakiku sakit sangat sakit, sakitnya semakin keatas, kakiku sudah tak

bisa bergerak lagi.. aku tak kuat lagi memegang tangan suamiku. Kulihat wajahnya yang

tampan, berlinang air mata.
Sebelum mata ini tertutup, kulafazkan kalimat syahadat dan ditutup dengan kalimat

tahlil.

Aku bahagia melihat suamiku punya pengganti diriku..
Aku bahagia selalu melayaninya dalam suka dan duka..
Menemaninya dalam ketika ia mengalami kesulitan dari kami pacaran sampai kami menikah.
Aku bahagia bersuamikan dia. Dia adalah nafasku.
Untuk Ibu mertuaku : “Maafkan aku telah hadir didalam kehidupan anakmu sampai aku

hidup didalam hati anakmu, ketahuilah Ma.. dari dulu aku selalu berdo’a agar Mama

merestui hubungan kami. Mengapa engkau fitnah diriku didepan suamiku, apa engkau punya

buktinya Ma? Mengapa engkau sangat cemburu padaku Ma? Fikri tetap milikmu Ma, aku tak

pernah menyuruhnya untuk durhaka kepadamu, dari dulu aku selalu mengerti apa yang kamu

inginkan dari anakmu, tapi mengapa kau benci diriku. Dengan Desi kau sangat baik

tetapi denganku menantumu kau bersikap sebaliknya.”

***

Setelah ku buka laptop, kubaca curhatan istriku.

=====================================================

Ayah, mengapa keluargamu sangat membenciku?
Aku dihina oleh mereka ayah.
Mengapa mereka bisa baik terhadapku pada saat ada dirimu?
Pernah suatu ketika aku bertemu Dian di jalan, aku menegurnya karena dia adik iparku

tapi aku disambut dengan wajah ketidaksukaannya.
Sangat terlihat Ayah..
Tapi ketika engkau bersamaku, Dian sangat baik, sangat manis dan ia memanggilku dengan

panggilan yang sangat menghormatiku. Mengapa seperti itu ayah?
Aku tak bisa berbicara tentang ini padamu, karena aku tahu kamu pasti membela adikmu,

tak ada gunanya Yah..
Aku diusir dari rumah sakit.
Aku tak boleh merawat suamiku.
Aku cemburu pada Desi yang sangat akrab dengan mertuaku.
Tiap hari ia datang ke rumah sakit bersama mertuaku.
Aku sangat marah..
Jika aku membicarakan hal ini pada suamiku, ia akan pasti membela Desi dan ibunya..
Aku tak mau sakit hati lagi.
Ya Allah kuatkan aku, maafkan aku..
Engkau Maha Adil..
Berilah keadilan ini padaku, Ya Allah..
Ayah sudah berubah, ayah sudah tak sayang lagi pada ku..
Aku berusaha untuk mandiri ayah, aku tak akan bermanja-manja lagi padamu..
Aku kuat ayah dalam kesakitan ini..
Lihatlah ayah, aku kuat walaupun penyakit kanker ini terus menyerangku..
Aku bisa melakukan ini semua sendiri ayah..
Besok suamiku akan menikah dengan perempuan itu.
Perempuan yang aku benci, yang aku cemburui.
Tapi aku tak boleh egois, ini untuk kebahagian keluarga suamiku.
Aku harus sadar diri.
Ayah, sebenarnya aku tak mau diduakan olehmu.
Mengapa harus Desi yang menjadi sahabatku?
Ayah.. aku masih tak rela.
Tapi aku harus ikhlas menerimanya.
Pagi nanti suamiku melangsungkan pernikahan keduanya.
Semoga saja aku masih punya waktu untuk melihatnya tersenyum untukku.
Aku ingin sekali merasakan kasih sayangnya yang terakhir.
Sebelum ajal ini menjemputku.
Ayah.. aku kangen ayah..

=====================================================

Dan kini aku telah membawamu ke orang tuamu, Bunda..
Aku akan mengunjungimu sebulan sekali bersama Desi di Pulau Kayu ini.
Aku akan selalu membawakanmu bunga mawar yang berwana pink yang mencerminkan keceriaan

hatimu yang sakit tertusuk duri.
Bunda tetap cantik, selalu tersenyum disaat tidur.
Bunda akan selalu hidup dihati ayah.
Bunda.. Desi tak sepertimu, yang tidak pernah marah..
Desi sangat berbeda denganmu, ia tak pernah membersihkan telingaku, rambutku tak

pernah di creambathnya, kakiku pun tak pernah dicucinya.
Ayah menyesal telah menelantarkanmu selama 2 tahun, kamu sakit pun aku tak perduli,

hidup dalam kesendirianmu..
Seandainya Ayah tak menelantarkan Bunda, mungkin ayah masih bisa tidur dengan belaian

tangan Bunda yang halus.
Sekarang Ayah sadar, bahwa ayah sangat membutuhkan bunda..
Bunda, kamu wanita yang paling tegar yang pernah kutemui.
Aku menyesal telah asik dalam ke-egoanku..
Bunda.. maafkan aku.. Bunda tidur tetap manis. Senyum manjamu terlihat
di tidurmu yang panjang.
Maafkan aku, tak bisa bersikap adil dan membahagiakanmu, aku selalu meng-iyakan apa

kata ibuku, karena aku takut menjadi anak durhaka.
Maafkan aku ketika kau di fitnah oleh keluargaku, aku percaya begitu saja.
Apakah Bunda akan mendapat pengganti ayah di surga sana?
Apakah Bunda tetap menanti ayah disana? Tetap setia dialam sana?
Tunggulah Ayah disana Bunda..
Bisakan? Seperti Bunda menunggu ayah di sini.. Aku mohon..
 AB SayangUMI



Kisah Mengharukan Penuh Inspirasi Untuk Para Istri dan
Suami

Semoga peristiwa di bawah ini membuat kita belajar bersyukur
untuk apa yang kita miliki :

Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku
hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya,
aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya.
Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci
suamiku sendiri.

Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan
sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku
melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan
semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa
kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya
kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua
orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut
mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri
satu-satunya mereka.

Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja.
Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga
memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar
menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung
padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya
setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan
hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia
dengan menuruti semua keinginanku.

Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang
berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu
menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang
basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat
ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas mejadan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia
memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan
pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di
kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta
gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau
ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang
bersenang-senang dengan teman-temanku.

Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun
tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia
mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya
ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai
suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia
membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah
lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.

Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin
bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar
dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya
melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi.
Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku
mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.

Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun
yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun
paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja
makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi
dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan
kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya
menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya
yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku
memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena
merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci
kedua orangtuaku.Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan
diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga
anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha
mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut
tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga
beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.

Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon.
Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon
langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu
salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai.
Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan
kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan
salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa
dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku
hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas.
Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga
dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan
bertanya.

“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku
tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa
menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan
di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.

Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup
telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama
kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski
masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah
membentak. “Apalagi??”

“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan
mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya
suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon kembali. Aku
menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi,
aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasirdan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan
tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah
membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya
nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku
juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi
untuk berhutang dulu.

Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil
suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku
semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone
suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali
kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering
teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak
dan marah.

Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika
suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing
menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat
sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat
siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab
pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi,
ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan
saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu
aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika
telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku
menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa
pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa
hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.

Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah
bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana
menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu
suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus
melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan
segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggubeberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib
terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita
itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu
sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya.
Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan
kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali
tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku
sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang
terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama
sekali tak mampu membuatku menangis.

Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di
hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru
kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak
tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan
seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang
telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan
kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan
kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya
yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak
dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha
mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku
padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar
kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi
bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua
pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi
pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku
berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang
telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.

Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan
kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya.
Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia
memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsiterutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia
tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan
terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku
tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah
bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak
disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku
adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak
mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan
mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya.
Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku
tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia
bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut
malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah.
Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah
lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat
tinggal teman-temanku.

Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku
pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan
tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun
di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal
memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku
dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku
begitu terluka kehilangan dirinya.

Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah
kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah
terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari
awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring
kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan.
Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku
makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa
membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya
seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia
yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali
aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman
kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam
aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku
terbangun dengan sosoknya di sebelahku.

Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara
dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun
karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia
sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa
kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu
kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya
di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi
komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya
masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia
membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya
yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau
kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya,
sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa
mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua
kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa
dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.

Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua
kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah
karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang
membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan
semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang
membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku
sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat
karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah
karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku,
meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu
menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku
ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga
untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini
kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung
mereka setelah kepergian suamiku.

Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga
mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada
dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali
rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan
tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa
besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli,
yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer
ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan
setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor
tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta
kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak
menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku
selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan
untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh
uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku
tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang
aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena
jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup
untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku
hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya
selalu diatur oleh dia.

Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku
datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali
dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat
pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya
padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun
adalah isi suratnya untukku.

Istriku Liliana tersayang,

Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang.
maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus
segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta
dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu
singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik
yang pernah kulakukan untukmu.

Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang
selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih
sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit
demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin
sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa
kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya
untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang
terbaik untuk mereka, ya sayang.

Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal
untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini.
Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-
mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau
aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh
yang lebih baik dariku.

Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak
bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan
Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan
jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian
berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy!

Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan
kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia
mengirimkan note.Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki
beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan
ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil
deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil
meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya.
Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar
cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia
tetap membanjiri kami dengan cinta.

Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki
yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih
begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan
untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi
satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun
meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku
pergi.

Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari
lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang.
Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah
menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci,
gimana ya bu?”

Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah
suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki
dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau
akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima
kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan,
kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”

Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah
yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”

Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu
seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian
berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”

Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan
cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun
untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang
sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena
kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang
begitu tulus.


Ketabahan Seorang Istri (Kisah mengharukan yg memotivasi)



Ketabahan Seorang Istri (Kisah mengharukan yg memotivasi)

Bismillahirr Rahmanirr Rahim …

Beberapa bulan yang lalu, teman baik saya (dia tidak bekerja dan punya dua orang anak laki-laki yang masih kuliah dan sekolah SMA) kehilangan suaminya yang meninggal karena infeksi tetanus. Yang membuat saya sangat terkesan pada teman tersebut adalah ketabahan dan ketawakalannya ketika menghadapi musibah tersebut, yang mungkin bagi sebagian orang terutama wanita (yang kebetulan tidak bekerja dan bahkan anaknya masih banyak membutuhkan biaya sekolah) yang ketika menghadapi peristiwa serupa akan merasa bahwa langit serasa runtuh, bumi serasa hancur dan harapan ke depan bagaikan berjalan pada jalan yang buntu. Akan tetapi, teman saya sama sekali tidak menampakkan kesedihan yang berlebihan..apalagi pingsan (sehingga saya berpikir "seandainya hal serupa terjadi pada saya, apa saya mampu seperti itu?").

Ketika dia diberitahu oleh perawat dan dokter bahwa suaminya telah tiada, dia tidak menjerit atau meraung histeris atau pingsan...tetapi dia katakan "Innalillahi wa inna ilaihi roji'un...kepastian dari Allah telah datang dan Allah lebih mencintainya daripada saya mencintainya".

Kemudian dia masuk ke ruangan tempat suaminya terbaring dan mencium kening suami seraya mengatakan "mudah-mudahan Allah menempatkan aba dalam tempat yang sebaiknya...tugas aba telah selesai, tinggal saya yang harus melanjutkannya...dan saya yakin bahwa Allah juga akan memberikan jalan yang terbaik pula dengan peristiwa ini. Selamat jalan dan beristirahatlah dengan tenang"

Dokter dan perawat yang melihat keadaan tersebut tercengang sambil mengatakan "selama bertahun-tahun saya bertugas baru kali ini saya menemui ibu yang begitu tabahnya menghadapi kematian suaminya. Seumumnya yang saya temui seorang wanita akan pingsan atau menjerit histeris mendengar berita yang sama"

Tidak hanya dokter atau perawat yang begitu tertegun, sebagai temannya justru saya yang menangis melihat keadaan seperti itu...melihat dia dengan tabahnya mencium kening suaminya dengan tanpa airmata dan menemui serta menyambut ucapan bela sungkawa para kerabat, kolega, tetangga dengan senyum (walau raut wajahnya menampakkan 

sedih yang mendalam) bahkan mampu bercerita dengan tenang tanpa airmata. MasyaAllah....(Akankah kita mampu seperti itu?)

Ketika saya tanyakan kepadanya "Bagaimana dia mampu seperti itu?"

Jawabannya adalah

"Semua yang terjadi adalah suatu kepastian dari Allah, yang semua manusia akan sampai kepada waktu tersebut. Sehingga apapun yang telah ditentukan oleh Allah Ta’ala, pasti Allah Ta’ala punya rancangan pasti pula bagi saya dan anak-anak untuk maju berderap ke depan. Saya juga yakin bahwa suami saya meninggal dalam keadaan struktural dan selalu mengarahkan "anak panah"nya untuk tunduk patuh dengan ajaran Allah yakni Al - Quran. Lalu apa yang harus saya risaukan? Andaikata saya...berteriak, meraung, meratapi kepergiannya, apatah juga dia kembali? Raungan, teriakan, ratapan hanya akan membuat langkah suami saya ke kedamaian terhalang dan membuat saya sendiri makin tenggelam ke perut bumi....dan akal pikiran sehat saya sebagai manusia akan mati pula mengikuti jasad suami...Yang jelas, tugas suami saya telah berakhir dan telah diminta istirahat oleh Allah. Tinggal kita sekarang yang masih harus berjalan menapaki jalan kita yang kita tidak tahu apakah akan berakhir dengan "khusnul khotimah" atau "syu'ul khotimah"..."beristirahat dengan tenang" atau "terpaksa diistirahatkan"...

Saya merenungkan apa yang dia katakan...Mampukah saya seperti dia yang dengan sangat yakin dengan kepastian dan ketentuan dari Allah Ta’ala....Ya, saya juga harus yakin!

Semoga Bermanfaat...

Silahkan saudara-saudariku yang baik, yang mau share atau co-pas, dengan senang hati. Semoga bermanfaat. Semoga pula Allah Ta'ala berikan pahala kepada yang membaca, yang menulis, yang menyebarkan, yang mengajarkan dan yang mengamalkan… Aamiin, Aamiin, Aamiin ya Alloh ya Rabbal’alamin …



Kisah Suami Yang Sabar Dan Setia Terhadap Istrinya




Perkawinan itu telah berjalan empat (4) tahun, namun pasangan suami istri itu belum juga dikaruniai seorang anak. Dan mulailah kanan kiri berbisik-bisik: “kok belum punya anak juga ya, masalahnya di siapa ya? Suaminya atau istrinya ya?”. Dari berbisik-bisik, akhirnya menjadi berisik.
Tanpa sepengetahuan siapa pun, suami istri itu pergi ke salah seorang dokter untuk konsultasi, dan melakukan pemeriksaaan. Hasil lab mengatakan bahwa sang istri adalah seorang wanita yang mandul, sementara sang suami tidak ada masalah apa pun dan tidak ada harapan bagi sang istri untuk sembuh dalam arti tidak peluang baginya untuk hamil dan mempunyai anak. Melihat hasil seperti itu, sang suami mengucapkan: inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, lalu menyambungnya dengan ucapan: Alhamdulillah.
Sang suami seorang diri memasuki ruang dokter dengan membawa hasil lab dan sama sekali tidak memberitahu istrinya dan membiarkan sang istri menunggu di ruang tunggu perempuan yang terpisah dari kaum laki-laki.Sang suami berkata kepada sang dokter: “Saya akan panggil istri saya untuk masuk ruangan, akan tetapi, tolong, nanti anda jelaskan kepada istri saya bahwa masalahnya ada di saya, sementara dia tidak ada masalah apa-apa.Kontan saja sang dokter menolak dan terheran-heran.
Akan tetapi sang suami terus memaksa sang dokter, akhirnya sang dokter setuju untuk mengatakan kepada sang istri bahwa masalah tidak datangnya keturunan ada pada sang suami dan bukan ada pada sang istri.Sang suami memanggil sang istri yang telah lama menunggunya, dan tampak pada wajahnya kesedihan dan kemuraman. Lalu bersama sang istri ia memasuki ruang dokter. Maka sang dokter membuka amplop hasil lab, lalu membaca dan mentelaahnya, dan kemudian ia berkata: “… Oooh, kamu –wahai fulan- yang mandul, sementara istrimu tidak ada masalah, dan tidak ada harapan bagimu untuk sembuh.Mendengar pengumuman sang dokter, sang suami berkata: inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, dan terlihat pada raut wajahnya wajah seseorang yang menyerah kepada qadha dan qadar Allah SWT.
Lalu pasangan suami istri itu pulang ke rumahnya, dan secara perlahan namun pasti, tersebarlah berita tentang rahasia tersebut ke para tetangga, kerabat dan sanak saudara.Lima (5) tahun berlalu dari peristiwa tersebut dan sepasang suami istri bersabar, sampai akhirnya datanglah detik-detik yang sangat menegangkan, di mana sang istri berkata kepada suaminya: “Wahai fulan, saya telah bersabar selama Sembilan (9) tahun, saya tahan-tahan untuk bersabar dan tidak meminta cerai darimu, dan selama ini semua orang berkata:” betapa baik dan shalihah-nya sang istri itu yang terus setia mendampingi suaminya selama Sembilan tahun, padahal dia tahu kalau dari suaminya, ia tidak akan memperoleh keturunan”.
Namun, sekarang rasanya saya sudah tidak bisa bersabar lagi, saya ingin agar engkau segera menceraikan saya, agar saya bisa menikah dengan lelaki lain dan mempunyai keturunan darinya, sehingga saya bisa melihat anak-anakku, menimangnya dan mengasuhnya.Mendengar emosi sang istri yang memuncak, sang suami berkata: “istriku, ini cobaan dari Allah SWT, kita mesti bersabar, kita mesti …, mesti … dan mesti …”. Singkatnya, bagi sang istri, suaminya malah berceramah di hadapannya.Akhirnya sang istri berkata: “OK, saya akan tahan kesabaranku satu tahun lagi, ingat, hanya satu tahun, tidak lebih”.Sang suami setuju, dan dalam dirinya, dipenuhi harapan besar, semoga Allah SWT memberi jalan keluar yang terbaik bagi keduanya.
Beberapa hari kemudian, tiba-tiba sang istri jatuh sakit, dan hasil lab mengatakan bahwa sang istri mengalami gagal ginjal.Mendengar keterangan tersebut, jatuhnya psikologis sang istri, dan mulailah memuncak emosinya. Ia berkata kepada suaminya: “Semua ini gara-gara kamu, selama ini aku menahan kesabaranku, dan jadilah sekarang aku seperti ini, kenapa selama ini kamu tidak segera menceraikan saya, saya kan ingin punya anak, saya ingin memomong dan menimang bayi, saya kan … saya kan …”.Sang istri pun bad rest di rumah sakit.
Di saat yang genting itu, tiba-tiba suaminya berkata: “Maaf, saya ada tugas keluar negeri, dan saya berharap semoga engkau baik-baik saja”.“Haah, pergi?”. Kata sang istri.“Ya, saya akan pergi karena tugas dan sekalian mencari donatur ginjal, semoga dapat”. Kata sang suami.Sehari sebelum operasi, datanglah sang donatur ke tempat pembaringan sang istri.
Maka disepakatilah bahwa besok akan dilakukan operasi pemasangan ginjal dari sang donatur.Saat itu sang istri teringat suaminya yang pergi, ia berkata dalam dirinya: “Suami apa an dia itu, istrinya operasi, eh dia malah pergi meninggalkan diriku terkapar dalam ruang bedah operasi”.Operasi berhasil dengan sangat baik. Setelah satu pekan, suaminya datang, dan tampaklah pada wajahnya tanda-tanda orang yang kelelahan.Ketahuilah bahwa sang donatur itu tidak ada lain orang melainkan sang suami itu sendiri. Ya, suaminya telah menghibahkan satu ginjalnya untuk istrinya, tanpa sepengetahuan sang istri, tetangga dan siapa pun selain dokter yang dipesannya agar menutup rapat rahasia tersebut.
Dan subhanallah …Setelah Sembilan (9) bulan dari operasi itu, sang istri melahirkan anak. Maka bergembiralah suami istri tersebut, keluarga besar dan para tetangga.Suasana rumah tangga kembali normal, dan sang suami telah menyelesaikan studi S2 dan S3-nya di sebuah fakultas syari’ah dan telah bekerja sebagai seorang panitera di sebuah pengadilan di Jeddah. Ia pun telah menyelesaikan hafalan Al-Qur’an dan mendapatkan sanad dengan riwayat Hafs, dari ‘Ashim.Pada suatu hari, sang suami ada tugas dinas jauh, dan ia lupa menyimpan buku hariannya dari atas meja, buku harian yang selama ini ia sembunyikan.
Dan tanpa sengaja, sang istri mendapatkan buku harian tersebut, membuka-bukanya dan membacanya.Hamper saja ia terjatuh pingsan saat menemukan rahasia tentang diri dan rumah tangganya. Ia menangis meraung-raung. Setelah agak reda, ia menelpon suaminya, dan menangis sejadi-jadinya, ia berkali-kali mengulang permohonan maaf dari suaminya. Sang suami hanya dapat membalas suara telpon istrinya dengan menangis pula.
Dan setelah peristiwa tersebut, selama tiga bulanan, sang istri tidak berani menatap wajah suaminya. Jika ada keperluan, ia berbicara dengan menundukkan mukanya, tidak ada kekuatan untuk memandangnya sama sekali.(Diterjemahkan dari kisahk yang dituturkan oleh teman tokoh cerita ini, yang kemudian ia tulis dalam email dan disebarkan kepada kawan-kawannya)

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar